Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Semua info yang kamu cari ada di sini

Rabu, 03 Februari 2010

Menghadapi Guru (Rapat Jum’at)

Salah seorang rekan kerja saya, sebelum mengajar di SD ini adalah seorang guru SMK. Suatu kali dia berkisah tentang sebab dia ‘cabut’ dari sekolah sebelumnya. Dia bertengkar hebat dengan salah seorang rekan kerjanya.

Sobat saya itu kesal dengan rekan kerjanya yang menurut dia keterlaluan. Atas nama disiplin, dia menjemur anak-anak selama berjam-jam di lapangan panas-panas, atau mempush up puluhan kali. Anak-anak yang nilainya jelek, dipaksa ikut jam belajar tambahan yang baru berakhir lewat jam 9 malam. Kontan sobat saya ini meradang. Dari mulai keluhan-keluhan sopan, protes, sampai akhirnya bertengkarlah dua guru ini saling berteriak satu sama lain. Dan karena sobat saya adalah guru baru, kepsek jelas lebih memenangkan yang telah lama mengajar. Sobat saya gak tahan, dia lalu mengundurkan diri.

Lalu, sampailah dia ke sekolah ini.

Saya sering diam-diam membayangkan bagaimana rekan saya yang terkenal guru paling lembut disini itu berkelahi dengan rekan kerjanya yang dulu. Ngng.. Gak kebayang ah! Namun saya mengkhayalkannya jadi heroik sekali. Seperti itulah guru yang membela anak-anaknya. Yah, walaupun dia musti kalah.

Menghadapi rekan kerja sendiri itu memang menyebalkan sekali. Bagaimana caranya kita memberitahu atau memprotes tindakan tidak terpuji rekan tanpa merasa tidak enak? Yah, tentu itu bergantung pribadi orang yang bersangkutan. Saya sungguh senang bahwa sebagian besar rekan kerja saya adalah orang-orang yang terbuka. Kami bisa saling mengkritik satu sama lain dengan tanpa merasa jengah.

Tapi tentu tidak semua.

Tahun pertama itu, saya adalah walikelas dua. Tapi saya juga mengajar di kelas 1 dan 3 pelajaran IPS sebanyak dua jam pelajaran satu minggunya. Nah, setiap kali saya masuk kelas 3, saya selalu diserbu curhat. Curhat-curhat panjang kelas 3 yang semuanya adalah mengenai walikelas mereka sendiri. Beberapa saat saya mulai sadar bahwa kelas 3 sebal dengan walikelasnya. Saking sebalnya, berkali-kali mereka bilang bahwa mereka membencinya. Apakah guru kelas 3 galak? Gak juga.

Dari curhat-curhat panjang mereka yang kebanyakan berputar-putar dan melelahkan, saya bisa mengambil benang merahnya. Anak-anak angkatan pertama ini sebenarnya adalah anak-anak yang manis dan patuh. Terbukti toh selama saya menjadi walikelas mereka tahun ajaran 2008-2009 kemarin, hampir tidak pernah menerima laporan apapun tentang kenakalan mereka. Padahal kelas 5 itukan masa-masa pemberontakan dimulai. Mereka sesungguhnya mau kok, diberi peraturan seketat apapun. Hanya mereka adalah anak-anak yang terbiasa diperlakukan secara demokratis. Yah, kalau melihat gaya-gayanya Bu Kirsan dan Bu Eni, dua walikelas terdahulu mereka. Jadi, mereka sungguh tidak senang ketika harus bertemu dengan walikelas yang pertama-tama masuk langsung ngasih segambreng peraturan yang sudah jadi. Gak papa mereka diberi peraturan banyak, dan mereka akan mematuhinya tanpa protes. Tapi, mereka mengharap untuk diajak berdiskusi dulu mengenai itu. Paling tidak, kalau mereka tidak boleh melakukan sesuatu, mereka tau alasannya kenapa.

Guru: Peraturan pertama, tidak boleh datang terlambat.

Murid: Kenapa kita gak boleh terlambat?

Guru: Karena ibu mau kalian belajar untuk disiplin. Belajar untuk menghargai dan tepat waktu. Juga belajar untuk hidup lebih terstruktur.

Murid: Okey…

Nah, begitu aja kan gampang. Cuma butuh waktu beberapa menit, bukan? Dan bukan…

Guru: Peraturan! Masuk pukul 7 pagi. Dua, siswa wajib memakai seragam sekolah. Tiga, ble..bla..bla…

Murid: (Bengong) (Dalam hati: jkfushzhxfhdfhshjhdahda!!!!!!!)

Karena dari awalnya anak-anak sudah tidak senang, akhirnya apapun yang sang guru lakukan jadi selalu menyebalkan dimata anak-anak. Kayaknya segala-galanya salah. Mereka jadi tukang ngelawan. Nasihat walikelas seakan-akan angin lalu saja. Dan saya kesal sekali setiap kali Pak Kelas 3 mengeluh tentang ketidak patuhan anak-anaknya. Kok mbok ya gak sadar-sadar bahwa anak-anaknya ini Cuma tidak patuh kepada dia doang. Kepada guru yang lain, mereka adalah anak-anak manis yang bukan hanya nurut, tapi juga sayang kepada guru. Maksud saya, itu kan seharusnya menyadarkan guru dong bahwa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Jangan terus-terusan nyalahin anak-anak.

Tapi, ya.. Saya pun tidak melakukan apapun mengenai masalah itu. Alasan saya, banyak. Sibuk dengan kelas sendiri, lah! Gak enak sama senior, lah! Gak PD menegur guru yang bener-bener guru sementara saya siapa sih? Bukan lulusan kependidikan, gak punya akta 4 dan bahkan gak pernah punya pengalaman mengajar di manapun kok bisa-bisanya memberi tahu seorang sarjana kependidikan. Sok tau banget!

Saya diam. Mencoba untuk menanggapi setiap curhat kelas 3 dengan meminta mereka untuk lebih terbuka dan sabar.

Ibu yakin kok, Pak Kelas 3 itu orang yang baik. Dan guru yang hebat loh. Gimana kalau kalian ngajak ngobrol baik-baik Pak Guru..

‘Huh! Baik apaan. Tau gak….bla..bla..bla..’ Seno.

Akhirnya, klimaks dari frustasi anak-anak ini meletus dalam jalan yang salah. Pada suatu hari, selepas jam sekolah, Pak Kelas 3 menemukan bahwa seluruh papan tulis penuh dengan tulisan. Tulisan-tulisan ini bukan tulisan biasa anak-anak yang biasanya gambar-gambar mobil dan pesawat terbang atau tulisan iseng ‘anu love anu’, tapi merupakan wujud kemarahan mereka:

Pak Kelas 3 mulutnya bau kentut!

Pak Kelas 3 suka makan jengkol dan suka mandi di comberan!!

Pak Kelas 3 tukang kentut dan tukang cepirit!!

Meghadapi hal seperti itu, seseorang sebaiknya instropeksi diri. Tulisan itu tentu bukan sebenarnya, tapi juga tidak bisa dikatakan penghinaan. Lah, yang nulis kan Cuma anak-anak. Bocah-bocah yang baru berusia 8-9 tahun. Jelas sekali itu semua mengisyaratkan kekecewaan, dan bukan serangan. Yah, menurut saya sih seperti itu. Tidak usah diambil hati. Perbaiki diri kita saja.

Sebagai guru, menurut saya kita gak perlu permisif. Hanya karena ingin disukai, maka jadi mengikuti semua keinginan anak-anak. Kita harus tegas juga. Kalau perlu, galak pun tidak mengapa asal memang saatnya tepat. Dan gak pernah jadi masalah guru itu terkenal galak. Sepanjang hidup, saya pernah mengalami berkali-kali guru galak namun toh tidak dibenci. Rekan saya Bu Lulu, beuh! Goalak! Guru paling killer di sekolah ini. Menurut saya, disekolah manapun pasti Bu Lulu akan dianggap galak. Tapi anak-anak tetap sayang kepadanya. Kenapa? Karena dia mau mendengarkan anak-anak.

Sayangnya, Pak Guru ini, tidak mau instropeksi diri. Dia langsung mengundurkan diri saat itu juga.

Atas prakarsa Bu Eni, akhirnya mulai tahun ajaran kemarin, kami semua menyisihkan waktu satu minggu sekali untuk saling berbagi. Namanya disebut ‘Rapat Jum’at’. Setiap hari Jum’at, dan disebut rapat biar tidak ada yang berani mangkir. Yah, sebenernya sih Cuma kita-kita para guru ngumpul semua, saling curhat mengenai kesulitan masing-masing dan saling memberi kritik dan saran. Awal-awalnya, yah, rada-rada kaku. Beberapa guru terlihat tidak suka dan sedikit kesal merasa digurui. Lama-lama, cair tentu. Kita jadi jauh lebih terbuka, lebih berani untuk mengungkapkan pendapat, lebih perduli dengan kesulitan rekan, dan lebih legowo saat dikritik.

0 komentar: